Pro dan Kontra Pelaksanaan Pilkada Banjarbaru 2024, Akademisi Unair Turut Sampaikan Pendapat

FOTO:

BANJARBARU ‐ Pelaksanaan Pilkada 2024 di Kota Banjarbaru, ternyata juga jadi sorotan di kalangan akademisi luar Kalimantan Selatan.

Salah satunya adalah DR Wayan Suka, dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Dosen Fakultas Hukum ini mengatakan, dari kacamata hukum, Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwali) Banjarbaru sudah berjalan sesuai aturan.

Bahkan menurutnya, KPU Kota Banjarbaru juga sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama Undang-Undang Pilkada.

Diantaranya mentransformasi norma hukum di Undang-Undang Pilkada sebagai mekanisme diskualifikasi.

Yaitu aturan tentang setiap pasangan calon kepala daerah yang melanggar hukum, dapat bahkan harus didiskualifikasi keikutsertaannya sebagai pasangan calon kepala daerah.

"Yang jadi salah satu proposisi norma hukum paling dasar adalah, setiap pelanggar hukum tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah," katanya, Minggu (1/12/2024) melalui siaran pers.

Kemudian, ia juga menyoroti sejumlah argumen terkait keabsahan penyelenggaraan Pilkada 2024 Kota Banjarbaru.

Yakni yang menyatakan penyelenggaraan Pilkada Kota Banjarbaru tidak sah (inkonstitusional), karena tidak menjalankan mekanisme calon tunggal, tetap mencantumkan paslon yang dibatalkan dalam surat suara, dan menyatakan sebagai tidak sah seluruh perolehan suara pasangan calon terdiskualifikasi.

"Argumen itu tidak tepat," tegasnya.

Bukan tanpa alasan. Menurut Wayan, ada enam alasan kuat mengapa penilaian itu ia berikan untuk kasus Pilkada Banjarbaru.

Pertama, tempus atau waktu dilakukannya diskualifikasi yang secara defakto tidak memungkinkan KPU Banjarbaru untuk mencetak format surat suara menurut mekanisme calon tunggal.

“Demikian juga pertimbangan efisiensi anggaran, adalah beberapa situasi bersifat khusus yang melingkupi pilkada Banjarbaru,” jelasnya 

Kedua, selain dapat dibenarkan menurut doktrin equity, situasi khusus/spesifik seperti di Banjarbaru ini menurut Wayan, adalag alasan sah untuk tidak menerapkan mekanisme calon tunggal.

“Sebagaimana diatur oleh the system of rules sejalan dengan pernyataan rules are not enough,” katanya.

Yang ketiga. Ada Akontrario sebagai konsekuensi lebih jauh dari situasi khusus/spesifik di Banjarbaru. 

Sebab, menurutnya ada penerapan mekanisme berbeda oleh KPU Banjarbaru untuk melanjutkan proses pemilihan, yakni dengan tetap mencantumkan nama pasangan calon yang terdiskualifikasi, serta menyatakan tidak sah perolehan suara dari pasangan calon yang sebelumnya telah terdiskualifikasi.

“Walaupun hal ini tidak eksplisit diatur oleh atau dalam the system of rules, bukan berarti ini tidak bole,” tegasnya 

Alasan ke empat. KPU Banjarbaru juga kata Wayan telah mengumumkan pasangan calon terdiskualifikasi kepada setiap pemilih, sebelum mereka (pemilih) menggunakan hak pilihnya.

“Inilah yang menyebabkan pernyataan tidak sah KPUD terhadap surat suara yang diperoleh pasangan calon terdiskualifikasi,” jelasnya.

Yang kelima. In casu, misalnya dengan dipilihnya kotak kosong oleh para pemilih pasangan calon yang terdiskualifikasi, mekanisme calon tunggal justru memungkinkan pasangan calon tak terdiskualifikasi dapat dikalahkan oleh pasangan calon yang justru terdiskualifikasi.

Terakhir, Wayan melihat bahwa kekalahan pasangan calon tak terdiskualifikasi oleh pasangan calon terdiskualifikasi, di Banjarbaru ini adalah nama lain dari dominasi politik atas hukum, setidaknya dominasi demokrasi atas legal.

Dari ke enam alasan itulah, Wayan menilai bahwa KPU Banjarbaru telah bekerja tidak hanya menurut the system of rules melainkan juga menurut the system of principle.

“Khususnya mengenai aturan tentang setiap orang yang melanggar hukum tidak boleh mencalonkan diri,” tukasnya 

Ia mengakui, bahwa analisa ini kontras dengan argumen-argumen kontra-legal yang belakangan ini berseliweran.

Terutama yang menginginkan agar perolehan suara atas pasangan calon terdiskualifikasi sah menurut mekanisme pemilihan calon tunggal atau kotak kosong.

Termasuk argumen-argumen kontra-konstitusi yang simplistis dan dangkal justru mendalilkan inkonstitusional penerapan mekanisme pemilihan menurut the system of principle diatas. 

“Nama lain dari model-model argumen ini adalah menyatakan "sah" atas sesuatu yang "tidak sah", dan bahwa pernyataan "sah" adalah "sah" hanya menurut aturan enumeratif the system of rules,”